By Yosef Don Bosko, S. Fil
Guru Agama di SMA Katolik Frateran Maumere
Tubuhnya terkapar. Tiada daya di dipan. Dengan jilbab pink terbungkus selimut, seraya berbaring ia bicara. Hidup adalah perjalanan. Kadang yang berjalan dipaksa untuk berhadapan dengan lembah curam, bukit terjal, terpaan angin yang kencang, teriknya mentari yang menyengat. Tapi jalan itu harus dilalui. Karena di sini, di jalan ini, ada yang harus dikejar yakni Allah yakni kebahagiaan sempurna. Di sanalah akhir dari semuanya. Yang hadir, yang mendengar kicauan si tubuh yang terkapar, penuh deraian air mata. Padahal yang ditatap hanyalah wajah yang kuyuh, lesu, tiada daya. Mengapa mereka menangis? Bukankah yang mereka lihat adalah sosok yang tiada arti. Dia bukan Ayu Ting Ting atau Najwa Sihab atau Karni Iliyas yang selalu tampil percaya diri atau bintang sensasional lainnya yang selalu mencari popularitas sekali pun kadang dengan cara murahan.
Siapa dia? Dia seorang guru bagi anak-anak cacat. Kelompok yang cenderung jadi penghalang bagi dinamika dan akselerasi cita-cita imperium-imperium modern mengecapi kenikmatan hidup. Kelompok orang yang tidak sempurna ini dihangatkan jiwanya dengan kasih dan sayang. Ia menatap mereka, menghantar mereka kepada rembulan bahwa seredup apapun cahaya rembulan jika dibandingkan dengan matahari, tapi yang namanya cahaya selalu akan bermakna dikala kegelapan melanda. Dia membopong mereka untuk mengarungi lautan dengan keyakinan bahwa badai dan gelombang bisa dihadang bukan karena tubuh yang kekar, otot yang menggumpal, tapi dengan keyakinan, dengan jiwa, bahwa usai badai akan ada dermaga karena perahu selalu akan berlabuh. Dengan jemarinya yang gemulai, ia menunjuk langit. Setinggi apa pun alam, bisa digapai asal ada kemauan dan keseriusan yang diaduk dalam keyakinan diri yang kuat serta iman yang tangguh. Ya, hidup dijalankan dengan jiwa, telapak kaki, telapak tangan, sebagai penterjemah, akal budi hanyalah mandor yang tahunya hanya memerintah. Dunia dirubah dengan idealism roh, otak hanyalah sebuah realita fana untuk mempertegas daya hidup dalam sebuah pengalaman.
Dia adalah Een Sukaesih, seorang guru bagi anak-anak cacat. Terserang beberapa jenis penyakit maka Een tiada daya. Lumpuh total. Tapi itu secara fisik. Daya batinnya tidak. Ia bergelora. Sejauh tatapan matanya, itulah cita-citanya, itulah kekuatannya. Rohnya tak pernah mati. Dan itu termaknai kala raganya lunglai di tempat tidurnya tapi jiwanya tetap merambah untuk menggapai cita-cita.
Kala menatap suguhan kamera SCTV sore itu, aku pun tertegun. Tanyaku, mengapa makna terdalam hidup kadang mencuat kala raga tiada daya? Mengapa gelora jiwa selalu nampak ke permukaan dan tertanam kukuh ketika kekuatan raga jatuh ke titik nol? Mengapa deraian air mata kadang menjadi gerbang menuju penemuan terdalam untuk memaknai subtansi? Mengapa semua itu tidak diperoleh di lantai dansa di pub mewah? Dan hal itu, peristiwa itu akan menjadi yang sangat berarti dalam dan bagi hidup. Air mata dapat menghantar menuju ke keagungan diri. Itu. Benar. Memang. Pasti. Aku lalu teringat kata orang bijak, Âpenderitaan hidup mengajarkan manusia untuk memaknai hidup. Nah, berarti dalam euphoria, apakah hidup tidak bisa dimaknai? Atau, itulah perjalanan manusia, bahwa tak selamanya kepenuhan materi; tarian indah, enaknya lidah meliuk, pesona mata menatap sejuta warna busana, liukan tubuh lunglai mengikuti music mengikat rasa, menjadi jaminan untuk mencapai kesempurnaan jiwa. Lalu, mengapa ia harus bergerak melewati alur derita untuk menuju ke titik nol? Karena, dalam derita kesadaran kefanaan semakin mencuat ke permukaan, dan bangkit pengakuan akan kekuatan jiwa berkiblat penuh pada Sesuatu yang Kekal Kekuatan itu demikian mengikat, mencengkeram raga. Ia terhadirkan ketika ketiadaan menghantar manusia pada realita kepasrahan tanpa bisa bangkit lagi dengan kekuatan sendiri. Ia bukan symbol keperkasaan karena bukan materi, ia bukan badai gurun sahara yang menyaput tak peduli, ia bukan tsunami yang haus siap menelan apa saja, ia bukan pemangsa bagai buaya benua Afrika, bukan pula rudal antar benua milik Korut. Bukan, karena ia immateri. Ia cuma udara, hanya ruah. Dengan kekuatan itu, Een hidup dan berani menatap masa depan, dengan jemarinya menunjuk ke langit biru, dengan tapaknya ia berjalan setapak demi setapak dan terus berjalan ke ujung batas cakrawala cita-cita , dengan jiwanya ia tahu bahwa hidup akan berakhir sekali waktu, dan berkiblat pada Sesuatu yang telah jadi jiwanya, maka yang terindah dan abadi dalam hidup adalah mencintai, mengukir dunia dengan kasih abadi.
Itulah secuil kisahku yang membual dari ketiadaan daya, Een Sukaesih. Karena cinta Een bagai matahari pagi, ia bersinar tanpa pernah dipuji padahal terkadang manusia tak suka dengan cahayanya. Atau bagai kembang di padang liar yang merekah, mewangi. Syukur kalau ada penyair kesepian menatap rekahnya dan menulis tentang cinta untuk sekedar berkisah bermetafor seputar celoteh Hawa yang cantik molek tiada dua. Kasih Een memancarkan Sang Cinta Sejati yang sering ditinggalkan di ruang doa dan tempat-tempat ibadat. Naluri Een menjelmakan naluri kemaharahiman Allah yang tiada tara, yang sering dipuji, diagungkan, disakralkan oleh para imamnya, sekalipun terkadang dalam hidup selalu menghindar dari kaum miskin, kerdil, dekil, kurus, kering.
Hidup akan terasa bermakna karena pengalaman ketiadaan. Dan segalanya telah terungkap dalam Dharma Sang Buddha Gautama; mematikan keinginan hidup adalah kesempurnaan kebahagiaan atau kekekalan atau Surga. Atau Sang Pewarta Hidup yang Sejati berbangsa Yahudi bahwa hanya yang miskin, yang mempunyai Kerajaan Allah. Ketiadaan bisa bermakna abadi asal jiwa tahu kemana ia berlabuh.
Rumahku, Oktober 2020.
DOMI BOKO