Cerpen Petraleo Salesian Smater Literasi

  • Romilindo Hilfison
  • December 03, 2022
  • 0
Cerpen Petraleo Salesian Smater Literasi

Cerpen                                  PUISI UNTUK IBU

By Petraleo


Di pagi hari yang tidak cerah seperti biasanya. Terlihat beberapa anak sedang bergegas menuju lapangan sekolah. Mereka tampak bersemangat biarpun cuaca mendung. Namun, ada satu diantara mereka yang sedari tadi memperlihatkan wajah murungnya dengan kepala tertunduk menatap permukaan lapangan yang kasar. Namanya Galang.

Kira-kira semenit kemudian, Pak Hasan selaku wali kelas memberikan pengarahan di depan. " Baik anak-anak. Berhubung dua hari lagi akan diadakan acara Hari Ibu, maka Bapak mengusulkan  kalian untuk menyusun puisi untuk Ibu kalian dan dibacakan nanti pada saat acara. Bagaimana. Siap semua?"

Hampir semua anak setuju sambil menampilkan senyum bahagia. Pak Hasan pun menyuruh mereka masuk ke kelas untuk mulai menyusun puisi. Sesampainya semua anak di kelas. Adit selaku ketua kelas mulai berbicara. " Teman-teman. Mohon tenang ya. Ruang guru sedang ada rapat." Itulah salah satu ketidakenakan ruang kelas berdekatan dengan ruang guru.

" Siap Adit"  sahut sekelas.

Para murid mulai mencorat-coret kertas untuk menyusun puisi. Elena, seorang anak dari wanita berkarir katanya, duduk sebangku dengan Jio. Dari tadi mereka berdua terlihat bercengkrama soal puisi ini. Seperti itulah yang sedang Galang dengar. Ia duduk tepat di belakang Elena.

Pensil, kertas, dan penghapus sudah siap diatas meja. Namun belum satupun huruf atau kata, tertulis disana. Galang malah melamun sambil menopang dagu menatap  pintu kelas yang terbuka tertutup mengikuti angin.

Hingga, " Hei Galang! Ku dengar kau tak punya Ibu kan?" Gadis kecil itu menoleh kebelakang dengan dagu terangkat. Belum lagi pertanyaannya yang menusuk hati. Galang hanya bisa mengangguk pelan. Lagipula memang benar dirinya tak punya ibu.

" Pantas saja kertasmu kosong. Nanti Pak Hasan marah loh," ucap Elena berusaha menutupi tawanya. Gadis kecil itu kemudian menunjukan kertasnya yang sudah penuh berisi puisi. Galang tersenyum paksa kemudian memasukan kertas dan peralatan tulisnya ke tas. Menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia tertidur.

Sepulang sekolah, Galang langsung pulang ke rumah. Jarak rumah dan sekolah tidak begitu jauh. Di teras rumah sudah duduk santai ayahnya dengan kopi panas tersedia di atas meja. Senyum pria paruh baya itu menyambut kedatangan putranya. Namanya ayah Ilham.

" Bagaimana sekolahnya, Nak? "

Galang mencium tangan sang Ayah, "Baik yah "

Ketika malam hari sehabis makan malam, Ilham mengerutkan keningnya melihat sang putra yang sedang melamun. Apa yang sedang dipikirkan anak berumur delapan tahun ini? Akhirnya ia menghampiri Galang.        " Sejak tadi Ayah memperhatikanmu. Sepertinya Galang sedang punya masalah ya? Coba ceritakan pada Ayah. Mungkin Ayah bisa bantu Galang,"ungkap Ilham penuh perhatian.

"Ibu di mana, Yah?"

Ilham menelan ludah mendengar pertanyaan anaknya. Ini sudah kali ketiga Galang bertanya tentang Ibunya.

" Galang. Dengar Ayah, Nak. Ibu sudah bahagia dengan keluarga barunya."

Luntur sudah senyumannya. Apa maksud Ayah?

Setetes air mata jatuh ke pipinya. Dengan cepat ia mengusap air mata itu. " T-tapi kenapa Ibu tidak datang kesini? Apa Ibu tidak rindu Galang? Kenapa Ibu tinggalin Galang sama Ayah?" Pertanyaan bertubi-tubi membuat Ilham memeluk putranya. Inilah yang ia takutkan.

Hari berlalu semakin cepat hingga tibalah hari dimana acara sekolah diadakan. Semua orangtua murid diundang tidak terkecuali. Ilham pun datang dan mengambil kursi terdepan untuk melihat penampilan anaknya.

Acara pun berlangsung dengan baik. Akhirnya waktu untuk membacakan puisi sudah dimulai. Murid-murid tampil keren dengan pakaian adat masing-masing. Ketika mulai bagian Galang, Ilham melambaikan tangannya memberi dukungan.

Galang sudah di depan sambil memegang secarik kertas berisikan puisi untuk Ibu. Menatap sekeliling sebentar ia menghembuskan napas pelan. Ia pun mulai . . . . . .

Ibu,

Kadang aku begitu iri,

Melihat orang-orang bisa berbakti,

Kepada Ibunya sepanjang Hari.

Sedangkan aku disini,

Hanya bisa meratapi diri,

Kepada siapa aku mengadu,

Segala sukar dan pilu?

Kepada siapa ku sandarkan

Segala tangis dan ratapan?

Ibu,

Aku ingin bertemu  denganmu.

 

Ilham mengusap sudut matanya yang sedikit berair mendengar puisi Galang. Diam sejenak hingga mulai terdengar tepukan penonton. Ternyata para penonton pun ikut meneteskan air mata mendengarkan curahan hati Galang. Sebelum kembali ke belakang ia sempatkan tersenyum tulus. Semoga suatu saat,  nanti entah kapan pun itu ia selalu menunggu Ibu.

THE END